JAKARTA, kadin.co – Nilai perdagangan RI dengan Amerika Serikat (AS) pasca-negosiasi tarif bisa menembus US$ 80 miliar, melonjak dua kali lipat dari saat ini, bahkan dapat mencapai US$ 120 miliar dalam empat tahun mendatang.
“Saat ini kan nilai perdagangan RI-AS, baik ekspor maupun impor, mencapai US$ 39-40 miliar. Dalam waktu 2-3 tahun, angkanya bisa melonjak jadi US$ 80 miliar. Dalam empat tahun bisa menjadi US$ 120 miliar, asalkan kita bisa menyiasatinya,” kata Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (9/5/2025), tentang hasil lawatan Kadin Indonesia ke AS, baru-baru ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag), total nilai perdagangan Indonesia dengan AS pada 2024 mencapai US$ 38,27 miliar. Indonesia tahun lalu mengekspor berbagai produk ke AS senilai US$ 26,31 miliar, sedangkan nilai impor dari AS mencapai US$ 11,96 miliar. Alhasil, Indonesia membukukan surplus perdagangan dengan Negeri Paman Sam senilai US$ 14,34 miliar.

Pemerintah AS memberlakukan tarif resiprokal sebesar 145% terhadap produk-produk impor asal China. Pemerintah China membalas dengan mengenakan tarif sebesar 125% terhadap produk-produk AS. Hampir semua negara di dunia terkena tarif resiprokal Trump. Indonesia sendiri dikenai tarif 32%.
Selain tarif resiprokal, Presiden Trump memberlakukan tarif universal sebesar 10% terhadap semua negara yang mengekspor produknya ke AS. Tarif universal diberlakukan sejak 5 April 2025, sedangkan tarif resiprokal berlaku mulai 9 April 2025. Namun, Trump kemudian menunda pemberlakuan tarif resiprokal hingga 90 hari ke depan.
Neraca Akan Diseimbangkan
Ketum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie yakin nilai perdagangan Indonesia dengan AS dapat melonjak dua kali lipat menjadi US$ 80 miliar dalam 2-3 tahun mendatang. Itu karena surplus perdagangan Indonesia terhadap AS akan diseimbangkan. Dalam negosiasi tarif, AS meminta agar nilai ekspor-impor Indonesia-AS disetarakan.

“Dengan demikian, nilai impor dari AS akan meningkat US$ 18 miliar sebagai penyeimbang neraca perdagangan, sehingga total perdagangan kedua negara berpotensi naik menjadi US$ 58 miliar atau hampir US$ 60 miliar,” ujar Anindya.
Sisanya senilai US$ 20 miliar, menurut Anindya Bakrie, akan datang dari dua belah pihak (saling ekspor-impor). “Kita akan ekspor lebih banyak lagi karena Amerika tidak menerima impor dari beberapa negara, terutama China,” tutur dia.
Selain itu, kata Anindya, peluang dagang Indonesia dengan AS terbuka bagi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki. Alhasil, Indonesia secara bertahap bisa menambah ekspor senilai US$ 10 miliar, sehingga nilai perdagangan antara Indonesia dan AS bisa bertambah menjadi US$ 60-70 miliar.

“Sebaliknya, AS memiliki peluang ekspor dalam bentuk komoditas pangan, seperti kedelai, gandum, susu, dan daging ke Indonesia,” ucap Anin.
Anindya menegaskan, proyeksi nilai perdagangan RI-AS sebesar US$ 80 miliar sangat mungkin terealisasi. Bahkan, nilai perdagangan itu dapat meningkat hingga US$ 120 miliar atau nyaris setara dengan nilai perdagangan Indonesia dan China yang tahun lalu mencapai US$ 135 miliar.
Data BPS dan Kemendag menunjukkan, nilai perdagangan Indonesia dengan China pada 2024 mencapai US$ 135,16 miliar, terdiri atas ekspor senilai US$ 62,43 miliar dan impor US$ 72,72 miliar. Dengan demikian, perdagangan RI-China mencatatkan defisit US$ 10,29 miliar untuk Indonesia.
“Sekali lagi, ini penuh dengan catatan karena Kadin bukan yang bernegosiasi dengan pemerintah. Tetapi secara potensi ada, karena dibutuhkan dan kedua belah pihak ingin berdagang lebih,” tandas Anindya.

Kesepakatan Dagang Baru
Sementara itu, dalam wawancara eksklusif dengan Fox News di New York, Rabu (30/04/2025) waktu setempat, Anindya Novyan Bakrie menyatakan optimismenya bahwa kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS bakal segera tercapai.
Menurut Anindya, kedua negara memiliki potensi besar untuk memperluas kerja sama, khususnya di sektor perdagangan dan investasi lintas negara.
“Kami membukukan surplus perdagangan dengan AS. Pemerintah kami sedang mempertimbangkan untuk menyeimbangkan angka tersebut,” ujar Anin.
Anindya Bakrie mengungkapkan, beberapa potensi impor energi Indonesia dari AS berasal dari negara bagian, seperti Texas dan wilayah sekitarnya.

“Texas adalah negara bagian yang menarik untuk memulai kerja sama. Namun yang ingin saya tekankan, dalam hubungan dagang, isu utamanya bukan soal neraca yang seimbang, melainkan bagaimana memperbesar volume perdagangan antara kedua negara,” papar dia.
AS, kata Anin, memiliki keinginan untuk meningkatkan ekspor produk seperti kedelai, kapas, dan gandum ke Indonesia. Di pihak lain, Indonesia ingin memperluas ekspor barang-barang manufaktur, seperti elektronik, alas kaki, dan garmen ke pasar AS.
“Kami juga memiliki banyak critical mineral yang dapat menjadi landasan kerja sama strategis dengan AS, sehingga ketergantungan pada satu negara dapat dikurangi,” tutur dia.
Anindya Bakrie kembali menekankan optimismenya bahwa kesepakatan dagang RI-AS dapat segera terwujud. “Tentu, merumuskan kesepakatan adalah tugas pemerintah. Tapi kami sangat percaya diri,” tegas Anin yang selanjutnya bertolak ke Washington DC untuk melakukan pertemuan dengan Kamar Dagang AS guna membahas peluang kerja sama lebih lanjut.
Perihal kebijakan energi pemerintahan Donald Trump yang kian mengandalkan bahan bakar fosil dan meninggalkan kesepakatan energi hijau, Anin mengakui, Indonesia memiliki pendekatan yang berbeda.
Indonesia, kata Anin, dikaruniai bahan bakar fosil. Namun di bawah tanah, Indonesia juga memiliki semua jenis mineral kritis (critical minerals), yaitu nikel, bauksit, timah, tembaga, dan rare earth (unsur tanah jarang). Sementara itu, di atas tanah, Indonesia punya potensi besar pada energi terbarukan, mulai dari energi surya, angin, geothermal, hingga hidro.
“Ini semua merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menjalankan transisi energi,” ucap dia.

Anin menambahkan, Indonesia juga punya potensi keanekaragaman hayati. “Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia. Suatu saat nanti, kami bisa memanfaatkan potensi carbon credits untuk mendukung peningkatan nilai tambah,” ungkap dia.
Investasi Energi Bersih
Di sisi lain, saat tampil sebagai pembicara dalam Bloomberg New Energy Forum Summit 2025 di New York pada 29-30 April 2025, Ketum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie mengatakan, Indonesia berkomitmen terus mengembangkan dan membuka peluang investasi di sektor energi bersih.

“Banyak pihak ingin mengetahui bagaimana Indonesia memosisikan diri di tengah tren global yang mulai meninggalkan Paris Agreement, padahal Indonesia masih menjadi produsen batu bara dan migas,” tutur Anin yang berkesempatan bertemu pimpinan Bloomberg New Energy Forum dan berdiskusi langsung dengan Chief Executive Officer (CEO) Bloomberg, Jon Moore.
Bloomberg New Energy Forum Summit 2025 juga dihadiri Utusan Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim S Djojohadikusumo yang juga Ketua Dewan Penasihat Kadin Indonesia. Hadir pula Wakil Ketua Umum (WKU) Bidang Lingkungan Hidup Kadin Indonesia, Dharsono Hartono.
Salah satu sorotan utama yang disampaikan Anin dalam Bloomberg New Energy Forum Summit 2025 adalah pentingnya kerja sama antara Indonesia dan AS di sektor critical minerals. Potensi kolaborasi terbuka lebar seiring meningkatnya kebutuhan global terhadap mineral penting untuk transisi energi.
Anin menegaskan, Indonesia sangat serius menjalankan transisi energi, tetapi tetap mengedepankan keseimbangan kepentingan nasional dan keberlanjutan sosial.
“Mudah-mudahan ini bisa mempromosikan bahwa Indonesia adalah negara yang bagus untuk investasi, sangat serius mengenai energi transisi. Yang paling penting adalah bisa membawa manfaat kepada orang banyak,” papar dia.

Indonesia, kata Anindya Bakrie, sudah mulai menempuh langkah konkret dalam menjalankan transisi energi, termasuk oleh PLN yang berencana membangun pembangkit listrik berkapasitas 103 gigawatt dalam 15 tahun ke depan. Dari jumlah itu, 75% di antaranya akan dipenuhi dari energi terbarukan.
Anin menambahkan, harga energi terbarukan mulai kompetitif dibandingkan energi fosil dalam skala besar. Meski demikian, Indonesia tetap mengedepankan pendekatan bertahap dan terukur.
“Ini memang terkesan masa depan, tapi sebenarnya adalah masa kini, karena harganya sudah mulai kompetitif dalam skala besar. Indonesia ingin melakukannya secara teratur, karena kita juga ingin memanfaatkan energi yang sudah ada selama ini,” ujar dia.
Anindya mengemukakan, sebagai tindak lanjut forum ini, Kadin Indonesia bakal menggelar Indonesia Sustainability Forum pada 10-11 Oktober 2025. “Kadin akan bekerja sama dengan Bloomberg New Energy Finance. Kami akan mengajak stakeholder luar negeri datang ke Indonesia,” tutur Anin. ***