JAKARTA, Kadin.co – Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie mengatakan, Indonesia sedang berupaya menciptakan keseimbangan kemitraan dengan negara-negara Barat untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Alhasil, Indonesia tak hanya menjalin kemitraan dengan China.
“Jadi, untuk mengembangkan ekosistem EV, Indonesia sedang berusaha menciptakan keseimbangan kerja sama dengan negara-negara Barat,” kata Anindya dalam diskusi bertajuk Getting EV Supply Chains Right di World Economic Forum (WEF) 2025 di Davos, Swiss, Selasa (21/1/2025) waktu setempat.
Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Business Insider Jamie Heller itu menghadirkan Jakob Stausholm (CEO Rio Tinto Group), Anindya Novyan Bakrie (CEO Bakrie & Brothers), Bonginkosi Emmanuel “Blade” Nzimande (Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Inovasi Afrika Selatan), Elizabeth Shuler (President AFL-CIO), dan Pan Jian (Vice Chairman CATL).
Anindya mencontohkan, perusahaan miliknya, PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk punya Indo-pacific Net-zero Battery-materials Corsortium (INBC) yang fokus pada kerja sama dengan negara-negara Barat.
“Kami memahami bahwa Eropa (termasuk) Inggris, dan AS membutuhkan material baterai berbasis nikel,“ ujar dia.
Ketum Kadin mengungkapkan, Indonesia juga berambisi menjadi acuan standar pengolahan material baterai EV dunia. “Ambisi kami dalam konteks rantai pasok global tidak hanya sebatas memproduksi material baterai untuk kendaraan listrik, tapi juga bagaimana cara memproduksinya,” tutur dia.
Anindya Bakrie menjelaskan, kepatuhan terhadap standar internasional dalam mengolah material baterai kendaraan listrik ini sejalan dengan konstitusi Indonesia. Standar itu juga bakal menguntungkan dari sisi bisnis.
“Kami memiliki potensi unik. Bayangkan, kami bisa memproduksi material baterai menggunakan energi hijau dengan tetap memperhatikan emisi karbon,” ucap dia.
Bukan Sekadar Wacana
Anin menegaskan, ambisi Indonesia tersebut bukan sekadar wacana. Indonesia sudah membuktikannya. Banyak perusahaan Indonesia yang sudah memasok tidak hanya ke China dengan teknologi canggihnya, tapi juga ke Eropa melalui Eramet dan Volkswagen, serta ke AS melalui Ford.
“Kami optimistis pada September nanti Indonesia secara keseluruhan bisa memenuhi standar besar seperti EMA (Exponential Moving Average) 50,” tandas Anin.
Langkah AS berinvestasi di industri EV, kata Anindya Bakrie, merupakan peluang, khususnya bagi Indonesia. Indonesia bisa menjadi pemasok perangkat keras untuk industri EV di AS yang membutuhkan rantai pasokan berkelanjutan, tangguh, terjangkau, dan efisien.
“Kita belum tahu bagaimana bentuknya nanti, apakah akan lebih mengarah ke kesepakatan bilateral. Tapi bagi Indonesia yang memulai dari posisi yang lebih rendah dan mengingat kita belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS, saya rasa ini bisa menjadi suatu potensi keuntungan dan kerja sama yang saling menguntungkan,“ papar dia.
Anin mengemukakan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, seperti panas bumi, hidro, tenaga surya, dan angin. Pemerintah bahkan menargetkan pembangunan pembangkit listrik sebesar 100 gigawatt dalam 15 tahun ke depan, yang 75%-nya merupakan energi terbarukan.
‘Indonesia juga dianugerahi kekayaan biodiversitas yang luar biasa, dari hutan, lahan gambut, mangrove, hingga terumbu karang, dengan potensi penyerapan karbon 500 gigaton. Potensi ini bisa menjadi sumber pendanaan untuk berbagai inisiatif hilirisasi,” ujar dia. ***